Bismillahirrohmanirrohim….
Aku bukanlah seorang wanita yang pandai mengartikan teka-teki_Mu.
Tapi bila memang ini benar maka biarkanlah aku menjaganya….
Kulangkahkan kaki ini menuju dirinya. Kutahan kan perasaan tak
tentu ini dalam aral melintang di depanku. Kumantapkan hati ini dalam keluh
kesah tuk berucap “Minal aidzin walfaizin, Mas”. Kataku lembut tak
memandangnya. Mukaku memerah tak kala ada kecenderungan dalam diriku tuk
menghindarinya. Semua pepohonan masih beku tanpa reaksi memandangi tingkahku
yang tak mereka mengerti. Sesaat aku terdiam kagum melihat jarak telapak
tanganku yang hanya satu jengkal dengan tangannya. Haram baginya bersalaman
dengan seorang akhwat. Mungkin, Begitu pemahamannya. Aku maklumi semua itu.
“De Uswah sekarang sekolah dimana?” ucapannya lirih agak malu
denganku. “Anu, apa itu SMA 7 Mas Zhain.” Jawabku terpatah-patah padanya. Dalam
ketidaktentuan perasaan ini aku memilih pergi meninggalkannya dengan menutupi
semua bahasa kalbuku. “Mas, Uswah buat minum dulu di belakang. Permisi !”
kataku asal saja. “De’Uswah nggak usah repot-repot Mas juga mau pamit dulu.
Wassalam….” Katanya berlalu meninggalkanku.
Hidupku serasa berwarna-warni mengenalnya tak dapat kupungkiri
bahwa semua itu salah. Mengenalnya waktu itu adalah anugrah terindah dalam
hidupku. “Bukankah aku tidak salah mengenalnya?” ucapku polos pada-Mu.
***
Suara takbir tidak terdengar lagi seperti gemuruh suara takbir
yang begitu merdu membuatku luluh tadi malam. Tapi kau pasti mendengar itu,
Subhanallah ! Begitu merdunya amat lembut mengundang. Membuat semua orang
tersanjung suara Muadzin itu, terlebih aku. “Gerangan suara siapa toh bu itu?”
Tanyaku menaruh penasaran .”Lah, ibu ya ndak tau,” jawabnya. Terundang aku
dihampirinya. Aku melangkah ringan menuju surau kecil di kampungku. Perlahan
langkahku tertahan mengenali suara merdu itu. Aku semakin terpana.
Kuletakkan mukena dan sajadahku dibalik pembatas tirai putih.
Saat aku bergegas melangkah berwudhu, Muadzin itu tepat dibelakangku tersenyum.
Kampungku belu mengenal manajemen ikhwan akhwat yang baik dalam hijab berwudhu
jadi saat itu tempat berwudhu masih satu tempat tanpa ada pembatas. “Udah lama
De….”katanya mengagetkanku. ”Belum,, Suara Mas Zhain merdu sekali,” kataku
polos. Lagi-lagi dia hanya tersenyum memamerkan lesung pipitnya merespon
pujianku. Tingkahku tak karuan saat itu. Aku berpaling menuju dalam surau
kutenangkan fikiranku menunggu iqomah. Kumohon pada-Nya agar haluan hatiku
labil saat melihatnya. Tak lupa beribu-ribu doa kupanjatkan.
***
Libur lebaran telah berlalu, hiruk pikuk arus balik mudik mulai
memenuhi jalur-jalur jalan raya bagaikan ribuan pasukan semut menyebar mencari
butiran gula. Dan dalam suasana pagi nun sejuk mentaripun masih malu-malu
menyapa di ufuk timur sana. Ada rona bahagia, malu dan ah tak dapat
digambarkan. Serangkaian bunga edelweiss menyambutnya mewakiliku. Kutundukan
kepalaku. “Ada perlu apa Mas Zhain tumben pagi benar kemari?” ucapku kaku. “Oh,
ini orang tua Mas ngadain syukuran dirumah. Kalau berkenan De Uswah dan
keluarga diharapkan hadir,”jawabnya. “Oh, pasti. Pasti kami sekeluarga hadir,
“kataku yakin.
Mas Zhain adalah anak tunggal guru ngaji kami di kampung
Waringin. Keluarganya begitu ramah,sopan dan begitu menjunjung tinggi agama dan
akhlaknya. Makanya tak heran bila orang-orang di kampung waringin begitu
menghormatinya. Mas Zhain tumbuh menjadi ikhwan yang begitu shaleh, kepribadian
dan bahkan menjadi idaman wanita di kampung Waringin. Setamatnya dari SMP dulu
dia terpanggil sendiri untuk mendalami ilmu agamanya disalah satu pondok di
Jawa Timur. Baginya menuntut ilmu boleh dimana saja yang penting dengan tujuan
mencari ridha Allah SWT , begitu ungkapnya. Sekarang beliau tengah kuliah di
salah satu Universitas Negeri jurusan Teknik Kimia di Bandung.
“Bu, Uswah cocok ndak pake baju ini?” tanyaku sambil berlenggang
di depan kaca. “Apa ndak terlalu berlebihan toh, ndok?’ jawabnya mengecilkan
hatiku. “Ndak lah Bu,” Jawabku cuek. Berkali-kali kubenarkan kerudung merah
jambuku di depan kaca. Kukaitkan ujungnya ke belakang dengan bross putih
kesayanganku.
***
Dalam mendung langit esok , aku tersipu malu menghadap-Mu.
Berilah hamba-Mu ketenangan. Lama ku menunggu disitu. Namun tak ku dapat bayangan
dirinya. “Mungkin sibuk” batinku. Kulirik lagi di setiap sudut rumahnya. Nihil
tak membuah hasil. Satu jam lebih acara berlalu, suasana menjadi lengang saat
sang guru ngaji kami di kampung Waringin, yang ku maksud Ayah Mas Zhain memberi
sambutan.
“ Kami sangat berbahagia dan turut berterima kasih atas kehadiran
Bapak, Ibu, saudara, saudari dan yang telah memberikan kesempatan memberi doa restu bagi putra kami Mohamad Zhain untuk dapat
menuntut ilmu di negeri orang. Untuk itu kami mohon doa dan restu Bapak, Ibu,
saudara, saudari sekaliyan agar putra kami selalu dalam lindunganya-Nya dalam
menuntut ilmu nanti. Dan semoga Ridha-Nya selalu menyertainya. Aamiin.” begitu sambutanya.
Saat itu mas Zhain datang menghampiri kami semua. Dua koper dan
satu tas kecil mengiringinya di belakang. Ku lihat dia bersujud di depan orang
tuanya, memohon doa restu. Dia berjalan teriring doa dan bersalaman dengan
semua tamu undanganya, kecuali kami kaum hawa yang bukan mahromnya. Dia hanya
menyatukan kedua telapak tanganya lalu diacungkan sopan kepada kami. Taksi blue
bird telah menantinya di ujung sana. Bersamaan dengan itu hatiku tak rela
melepasnya. Tapi apa dayaku? Apa hak aku disitu. Aku hanyalah salah satu tamu
undangan yang diharapkan doa restunya. Hatiku berkecamuk. Ada yang menggelora.
Ingin menahan dan berteriak tapi rasa ini beku. Sebenarnya apa landasan
tingkahku selama ini. Cinta? Aku pun tak tahu bagaimana pengertianya.
Kupandangi langkahnya dalam menuju jalan-Mu. Dan mutiara mata ini menetes tak
kupedulikan. Tak lebih 8m jarakku denganya. Dia melihatku. Benar-benar
melihatku.
“Ya Rabbi, lindungilah ia. Jagalah dia. Tunjukanlah dia jalan yang
benar-benar lurus kepada-Mu. Ridhailah tujuan yang baik itu. Dan bila memang
benar ini yang Engkau maksud dengan cinta. Maka jagalah perasaan ini dan
simpanlah rasa ini rapat-rapat dalam sanubari. Sungguh hanya Engkaulah yang
tahu. Dan biarkanlah dia merasakanya sendiri kelak, kalau aku benar-benar ingin
memillikinya atas seizin-Mu,” doaku
mengiringi kepergiannya dulu.
Dia hanya tersenyum mengangguk sembari seakan tahu isi hatiku
sambil berlalu meninggalkan kami semua.
Kebumen, 22 Maret 2012
(Nurul Ngaini Dihardjo)