Bintang
VB –
Jogjakarta, siapa yang belum pernah singgah di kesultanan islam
Jogjakarta?jogjakarta merupakan daerah khusus, Kepala Daerah/Gubernur dan
wakilnya adalah Sultan dan Patih Kesultanan Jogjakarta, merupakan kota pelajar,
karena berjamurnya lembaga pendidikan terkenal di Indonesia, Sebut saja UGM dan
UII.
Ada
yang menarik dikota Gudeg ini, yaitu santapan Kelelawar, gak perlu jauh-jauh
kita mengunjungi Menado yang terkenal dengan Tikus dan Kelelawar Rica-ricanya,
di jogja juga ada loh ladies. Terletak didepan Pasar Bringharjo, Wagiyem nama
penjualnya, menu yang dijual wagiyem cukup beragam untuk kelelawarnya, ada
Kelelawar Bakar, Tongseng Kelelawar, harganya pun relative murah, berkisar dari
15 ribu sampai 20 ribu per porsinya.
Kelelawar
bisa menjadi makanan lezat? Tentu membayangkannya saja sudah tidak terfikir
bukan. Ternyata jualan bu Wagiyem ini sangat laris, Kelelawar juga memiliki
beberapa khasiat yang diyakini oleh penikmatnya, seperti Asma dan Kecapean.
Yang
menikmati Menu Kelelawar Jualan Bu Wagiyem banyak dinikmati oleh Warga Sekitar
maupun Wisatawan yang berkunjung ketempatnya wanita berusia 58 Tahun ini
mengatakan bahwa, alasan pembeli Jualannya beragam, untuk aneka macam penyakit
yang diyakini oleh para pembeli. Menu favorit ditempat Bu Wagiyem adalah
Kelelawar Bakar dan Tongseng Kelelawar.
Mengenai
cara pembuatannya, Bu Wagiyem menuturkan bahwa Kulit dari Kelelawar dibersihkan
dan dikuliti lalu direbus sebentar dan langsung dibakar. Menurut pembeli
Jajanan Bu Wagiyem mengatakan bahwa daging Kelelawar ini seperti daging burung
puyuh, apalagi kalau ditambah sambel dan kecap, ucap pembeli yang tidak ingin
disebut namanya.
Ladies
mau mencoba? yuk simak dulu penjelasn MUI mengenai Kehalalan Daging kelelawar.
Daging
Kelelawar Menurut Islam
Seperti
inilah jawaban dari MUI, dilansir dari halaman MUI. Menjawab pertanyaan itu,
pertama harus dipahami sebagai kasus yang bersifat individual. Yang
bersangkutan benar-benar telah berusaha mencari dan menggunakan obat yang
memungkinkan, namun ternyata belum juga berhasil. Dan dikhawatirkan penyakitnya
akan menjadi lebih parah, dan dengan menggunakan atau mengkonsumsi daging
kelelawar sebagai obat, maka kondisi itu bisa disebut sebagai dharurat. Sesuai
dengan kaidah Fiqhiyyah, “Adh-dhoruratu tubiihul-mahdzurot”.
Memang,
di dalam Al-Quran tidak ada disebutkan larangan memakan daging kelelawar secara
eksplisit. Kalaupun ada yang mengharamkan, maka sesuatu yang haram boleh
dimakan atau dipergunakan sepanjang kondisi yang dharurat. Yaitu, memang tidak
ada lagi obat yang halal, dan kalau tidak menggunakan bahan atau obat yang
haram itu penyakitnya akan menjadi lebih parah, penyakitnya tidak akan bisa
sembuh, atau bahkan berakibat menjadi mati. Tapi kalau masih ada obat atau
alternatif, maka tidak ada rukhshoh, tidak pula ada toleransi.
Sedangkan
Imam Syihabuddin asy-Syafi’i (w. 808 H) dalam kitabnya at-Tibyan li
Maa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawan mengatakan bahwa kelelawar
menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i adalah haram. Imam Nawawi
dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab 9/22 juga menegaskan
haramnya kelelawar menurut mazhab Syafi’i.
Dalilnya
adalah hadits bahwa Nabi saw melarang membunuh kelelawar (“nahaa
rasulullah ‘an qatli al-khathaathiif”) (HR. Abu Dawud, dalam
kitabnya al-Marasiil dari jalur ‘Ubad bin Ishaq dari ayahnya)
(Lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Authar).
Menurut
Imam Syihabuddin asy-Syafi’i lagi, dalam kitabnya itu, bahwa dalam bahasa Arab,
kelelawar (al-khuffaasy) mempunyai empat nama, yaitu : khuffaasy, khusyaaf, khuthaaf,
dan wathwaath. Dengan demikian, hadits Nabi di atas berarti
melarang kita membunuh kelelawar (Arab : khathaathiif, jama’
dari khuthaaf). Berdasarkan hadits tersebut, Imam Syihabuddin
dengan menyatakan, ”Apa yang dilarang untuk dibunuh, berarti tidak boleh
dimakan”. (“wa maa nuhiya ‘an qatlihi laa yu`kalu”).
Sedangkan
jika digunakan untuk obat maka perlu dipahami bahwa ada
perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat
(at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda najis dan haram. Termasuk
dalam hal ini berobat dengan benda haram (kelelawar dan yang lainnya). Mengenai
hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan benda haram, ada
ulama yang mengharamkannya, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dosebutkan dalam
hadits Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu
pada apa-apa yang diharamkankan Allah atasmu”. (HR. Bukhari dan
Baihaqi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda pula, “Sesungguhnya
Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada
obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu
yang haram”. (HR. Abu Dawud).
Namun
ada pula pendapat yang membolehkan sementara, penggunaan obat dari bahan yang
haram. Tapi kebolehan ini terbatas hanya dalam keadaan darurat, seperti Yusuf
Al-Qaradhawi. Sebagaimana telah pula dijelaskan di atas. Wallahu a’lam.
Bagaimanapun
juga, secara sederhana, kita patut mengingatkan dan menyarankan, agar
mengkonsumsi atau menggunakan obat yang telah jelas kehalalannya. Jangan
berbuat yang menyerempet-nyerempet resiko bahaya, atau yang tidak jelas
(dianggap meragukan status kehalalannya. Karena mengkonsumsi yang halal itu
merupakan perintah agama yang harus/wajib diikuti.