Bintang VB - Harta dalam
Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang. Kewenangan untuk menggunakannya
terkait erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan (integritas)
dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle). Prinsip Islam mengajarkan bahwa
“Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang
berkepribadian shalih (amanah danprofesional).”
Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang,
memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezki Allah secara halal merupakan
hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki dan perempuan. Bila kita tahu
bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan untuk memiliki,
maka sudah semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang
yang mengkonsumsi hasil usahanya sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari
mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah,
Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara
baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai
persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq
‘Alaih).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam
menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola usaha dan berusaha secara baik,
mengelola dan memenej harta secara ekonomis, efisien dan proporsional serta
memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk masa depan dan persediaan
kebutuhan mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah
agar dapat diterima (mabrur) karena saran, niat dan caranya baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang
baik-baik saja.” (HR. Muslim).
Kesadaran akuntabilitas (ma’uliyah)
dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek manajemen pendapatan dan
pengeluaran timbul karena keyakinan adanya kepastian audit dan pengawasan dari
Allah subhanahu wa ta’ala seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kedua telapak kaki
seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari kiamat
sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang hartanya; dari mana
dia memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).
NAFKAH DALAM KELARGA
Secara prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan
tanggung jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang
halal dan wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset
keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
mereka…” (QS. An-Nisa:34).
Dengan demikian, posisi kepala rumah
tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen
perawatan keluarganya secara lazim. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara proporsional
telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya.
Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan
bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah pengayom
bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset
rumah tangga yang diayominya…” (HR.
Bukhari).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Ali radhiyallahu ‘anhuma beliau
berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban
bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah
tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga
adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan
tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan
rumah tangga.
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh
memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila
istri kurang mampu atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada
larangan Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu
dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak
membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama suami
mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri. Bukankah
Khadijah radhiyallahu ‘anha. ikut andil dalam membantu mencukupi
kebutuhan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah:2).
Prinsip keadilan Islam menjamin bagi
kaum wanita hak untuk mencari karunia Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan
ketentuan syariat dengan niat mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah
kepada Allah secara khusyu’. Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan
bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan
mengelola keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin)
menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk
berusaha mencari rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya
sosial kaum wanita dalam peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan
logistik. Di samping itu mereka juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan
membantu suami dalam pertanian.
MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA
Manajemen keuangan keluarga islami
harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rezki adalah Allah
dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat
beribadah dengan khusyu’ sehingga memiliki komitmen dan prioritas
penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari penghasilan haram yang
membawa petaka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang
haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap
di atasnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba
memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan
mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima.
Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan menjadi
bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan
dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab
kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad).
Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali
neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
Seorang wanita shalihah akan selalu
memberi saran kepada suaminya ketika hendak mencari rezki, “Takutlah kamu dari
usaha yang haram sebab kami masih mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi
tidak mampu bersabar di atas api neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan
berwasiat kepada istrinya untuk menjaga amanah Allah dalam mengurus harta yang
dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun
haram. Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67).
Dalam mencari pendapatan, Islam tidak
memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam
pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga
mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah, diri
maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu
yang harus engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu
haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Allah telah menegaskan bahwa bekerja
itu hendaknya sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286).
Namun bila kebutuhan sangat banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka
dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling membantu antara suami istri dalam
memperbesar pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan
sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada pasak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak
sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan,
maka bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam manajemen keuangan keluarga juga
tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga termasuk anak-anak
untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa memperhatikan masalah
pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan
sejak usia remaja di samping berhemat agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim
dapat berjalan lancar yang merupakan makna realisasi keberkahan secara
kuantitas maka Islam melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga
tumbuh menjadi benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain.
Firman Allah Swt. di awal (QS. An-Nisa
[4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk
cakap mengurus, mengelola dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup
mandiri yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan
pengurus keuangan keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk
bekerja, meringankan beban dan membantu orang tua.
PEMBELANJAAN DAN POLA KONSUMSI
ISLAMI
Pengeluaran atau pembelanjaan adalah
mengelola harta yang halal untuk mendapatkan manfaat material ataupun spiritual
sehingga membantu para anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal
ini terdapat beberapa jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang
akan datang, dan pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan
pahala di akhirat, seperti zakat dan sedekah.
Syariat Islam mengajarkan beberapa
aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya secara garis besar
adalah:
1. Komitmen pembelanjaan dan
pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami
Suami bertanggung jawab mencari nafkah
untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan dan batas-batas
kemampuannya. Allah berfirman: “Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS.
At-Thalaq [65]:7).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan
penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.” (HR.
Thabrani).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa
pemenuhan kebutuhan dana atau pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan
berubah dari bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi
pengeluaran yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Haji
Wada’: Ayomilah kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka
adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah
dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak
melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu.
Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”
Menjawab pertanyaan seorang sahabat
tentang kewajiban suami terhadap istrinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia memberinya makan ketika dia makan dan memberinya pakaian
ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah
ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya.” Hindun
binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bercerita bahwa
Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “ia tidak pernah memberiku dan
anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta
miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang
dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia mempunyai
uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah dengannya untuk
dirimu, kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika aku mempunyai sesuatu
yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk istrimu.’ Kemudian
ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul
menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk
pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
2. Kewajiban menafkahi orang tua yang
membutuhkan
Di antara kewajiban anak adalah memberi
nafkah kepada orang tuanya yang sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu
bentuk berbuat baik kepada orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS.
Al-Isra:23). Rasul bersabda: “Kedua orang tua itu boleh
makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan anak tidak boleh memakan
harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami).
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak
yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil.
Jika anak itu tidak melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap
orang tuanya dan berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami
dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah
suatu kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat
mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan
sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.
3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami
Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah
tangganya karena fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau
berdagang. Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun
‘ala birri wat taqwa (saling tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan) yang dianjurkan Islam. Selain itu, istri pun boleh memberikan zakat
hartanya kepada suaminya yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila
suami tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.
4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur
Keuangan Rumah Tangga
Telah dijelaskan bahwa suami wajib
berusaha dan bekerja dari harta yang halal dan istri bertanggung jawab mengatur
belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat
Islam, yaitu dalam rangka memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR.
Bukhari).
“Bila seorang istri
menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka
dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari
hasil usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa
mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan
ekonomis.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat”. (HR.
Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki cukup dan
menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq
‘Alaih).
6. Seimbang Antara Pendapatan dan
Pengeluaran yang Bermanfaat
Istri tidak boleh membebani suami
dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Ia harus dapat mengatur
pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai
dengan penghasilan dan pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS.
Al-Baqarah:236, 286).
Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau
menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.” Islam
menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam juga menganjurkan
agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Keluarga
muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus berprinsip pada pola konsumsi islami
yaitu berorientasi kepada kebutuhan (need) di samping
manfaat (utility) sehingga hanya akan belanja apa yang
dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat.
(QS. Al-Baqarah:172, Al-Maidah:4,
Al-A’raf:32). Dalam berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa
pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan
sesuai dengan perintah agama. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas
karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya.” (Muttafaq
‘Alaih).
7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)
Islam mengajarkan agar pengeluaran
rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok
sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga,
yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan
dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan
dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari
kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer
terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c. kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan
kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada
kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.
Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini
juga terkait dengan prioritas hak-hak yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah
(agama), orang lain. Orang lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan
rahim, yang paling utama adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75)
Aplikasi aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk
memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga
kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan, sehingga
rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang
ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.
Islam mengharamkan pengeluaran yang
berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan karena dapat mengundang kerusakan dan
kebinasaan. Allah berfirman: “Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS.
Al-Isra’:16).
Selain itu, bergaya hidup mewah
merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah.
Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya
dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami
mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS.
Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu
berbuat kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (HR.
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).
8. Bersikap Pertengahan dalam
Pembelanjaan
Islam mengajarkan sikap pertengahan
dalam segala hal termasuk dalam manajemen pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan
dan tidak pula kikir atau terlalu ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup
yang dapat merusak jiwa, harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap
hidup yang dapat menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola
ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir.
Firman Allah:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang Demikian.” (QS. Al-Furqon :67).
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS.
Al-Isra:29).
“dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27).
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari
yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan
untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR.
Ahmad).
“Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan
dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).
Jika pembelanjaan kita telah sesuai
dengan aturan-aturan Islam, Allah akan memajukan usaha kita serta
melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan Allah akan memberikan kelebihan
hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya untuk menjaga datangnya
hal-hal yang tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang
akan datang.